RADARBEKASI.ID, BEKASI – Waktu terus berdetak menuju tahun ajaran 2027/2028, saat Bahasa Inggris resmi menjadi mata pelajaran wajib mulai kelas III SD. Namun, di Kota Bekasi, kesiapan tampaknya masih jauh dari ideal. Kekurangan guru, keterbatasan pelatihan, hingga ketimpangan antar sekolah menjadi sinyal bahwa kebijakan ini tak bisa dijalankan tanpa kerja keras dan strategi matang.
Hari itu, di salah satu SD Negeri di wilayah Bekasi Selatan, seorang guru kelas terlihat memimpin kegiatan belajar yang tak biasa. Ia mencoba memperkenalkan kosa kata dasar berbahasa Inggris kepada siswanya.
“This is a book,” katanya sambil mengangkat buku cerita. Anak-anak menirukan dengan semangat, meski pelafalan mereka masih kaku. Sang guru tersenyum, namun di balik senyum itu tersimpan beban, ia bukan guru Bahasa Inggris.
“Kalau saya tidak mulai sekarang, nanti anak-anak ketinggalan,” ujarnya lirih.
Cerita ini menjadi potret kecil dari persoalan besar yang tengah dihadapi Kota Bekasi krisis guru Bahasa Inggris di jenjang SD.
Pemerintah pusat telah menetapkan Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib di seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah mulai tahun ajaran 2027/2028 melalui Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025. Artinya, hanya tersisa satu tahun bagi daerah seperti Bekasi untuk berbenah.
Sekretaris Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bekasi, Warsim Suryana, mengakui bahwa kondisi saat ini masih jauh dari siap.
“Untuk guru mata pelajaran Bahasa Inggris di SD belum terpenuhi,” ujarnya, Senin (13/10).
Menurut Warsim, saat ini pelajaran Bahasa Inggris di SD memang sudah berjalan, namun sifatnya masih tambahan, bukan wajib. Materinya pun diajarkan oleh guru kelas, bukan guru khusus.
“Upaya kami sementara adalah membekali guru kelas dengan pelatihan pendidikan bahasa Inggris agar kegiatan belajar tetap berjalan,” tambahnya.
Namun, upaya itu tak semudah membalik telapak tangan. Di lapangan, guru kelas sudah dibebani banyak mata pelajaran lain. Menambah tugas mengajar Bahasa Inggris tanpa dukungan kurikulum dan pelatihan yang memadai justru berisiko menurunkan kualitas pembelajaran.
Kondisi Bekasi hari ini menunjukkan ketimpangan tajam antara sekolah negeri dan swasta. Sekolah berkonsep boarding atau internasional sudah lebih dulu menyiapkan tenaga pendidik bahasa Inggris. Di sisi lain, mayoritas SD negeri masih mengandalkan guru kelas untuk mengajarkan kosakata dasar, mulai dari nama-nama benda hingga perkenalan sederhana.
Jika mengacu kepada jumlah sekolah dasar (SD) yang ada di Kota dan kabupaten Bekasi, maka dibutuhkan minimal sekitar 1700 guru Bahasa Inggris, dengan asumsi setiap sekolah satu orang guru Bahasa Inggris khsuus.
“Sebenarnya pembelajaran Bahasa Inggris sudah ada, tapi guru khususnya belum tersedia. Biasanya masih diampu oleh guru kelas masing-masing,” kata Kabid Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) Disdik Kota Bekasi, Wijayanti.
Situasi ini semakin pelik karena kebutuhan guru di SD secara umum pun belum terpenuhi. Pemerintah daerah masih berfokus pada pemenuhan tenaga pendidik inti seperti guru matematika dan IPA.
“Kalau untuk SMP, guru Bahasa Inggris sudah cukup. Yang langka justru guru matematika,” ujar Wijayanti.
Kebijakan menjadikan Bahasa Inggris sebagai mapel wajib sebenarnya sejalan dengan peta jalan pendidikan nasional. Pemerintah ingin menyiapkan lulusan yang mampu bersaing secara global. Bahasa Inggris dianggap sebagai kunci membuka akses ke ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi internasional.
Namun, visi besar itu berpotensi pincang jika tidak diimbangi dengan kesiapan sumber daya manusia di tingkat dasar. Ketua PGRI Kota Bekasi, Supyanto, menilai, pelaksanaan kebijakan ini perlu kehati-hatian dan perencanaan matang.
“Implementasi bahasa Inggris di sekolah dasar perlu dilakukan dengan hati-hati agar siswa benar-benar memperoleh manfaat maksimal,” ujarnya.
Menurutnya, ada tiga hal krusial, kualitas guru, kurikulum yang relevan, dan metode pembelajaran yang menarik.
“Guru harus memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik sekaligus memahami cara mengajar anak usia dini. Kurikulumnya harus disusun sesuai tahap perkembangan anak, dan metodenya tidak boleh monoton,” jelasnya.
PGRI juga menekankan perlunya pelatihan intensif, rekrutmen guru baru, hingga penyediaan sumber belajar dan teknologi pendidikan.
“Kalau Bekasi ingin berhasil, jangan hanya berhenti di aturan. Harus ada aksi konkret,” tegas Supyanto.
Dari Kabupaten Bekasi, suara serupa datang dari Ikatan Guru Indonesia (IGI). Ketua IGI Kabupaten Bekasi, Prawiro Sudirjo, menilai, saat ini hanya sekolah-sekolah tertentu yang memiliki guru Bahasa Inggris di jenjang SD.
“Hampir tidak ada guru Mapel Bahasa Inggris di SD negeri karena sistemnya masih guru kelas,” ungkapnya.
Menurutnya, kebijakan ini akan membuka peluang besar bagi lulusan pendidikan Bahasa Inggris, tetapi tantangannya adalah mekanisme rekrutmen guru yang saat ini tidak bisa serta merta dilakukan.
“Jumlah sekolahnya banyak, gurunya hampir tidak ada. Solusinya pasti dengan rekrutmen PPPK atau pelatihan besar-besaran,” ujarnya.
Meski begitu, Prawiro mendukung langkah pemerintah. Menurutnya, siswa zaman sekarang sudah terbiasa dengan paparan bahasa Inggris dari media digital.
“Generasi Z ini sudah akrab dengan bahasa Inggris lewat media sosial. Jadi memang sudah waktunya diwajibkan,” tambahnya.
Dari sisi kebijakan, anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Bekasi, Hasan Basri, mengingatkan agar pemerintah tidak berhenti pada tataran wacana. Menurutnya, perlu ada kebijakan turunan yang jelas, terutama terkait jam pelajaran dan sarana pembelajaran.
“Kalau menjadi mapel wajib, berarti jam pelajaran juga harus ditambah. Idealnya, bukan hanya teori tapi juga praktik seperti percakapan sehari-hari,” ucapnya.
Hasan juga menyoroti faktor lingkungan belajar. “Banyak anak sudah belajar bahasa Inggris dari SD hingga SMA, tapi tetap kesulitan berbicara. Itu karena lingkungan tidak mendukung. Belajar bahasa butuh ekosistem,” katanya, sembari menyinggung pengalamannya belajar di Kampung Inggris Pare, Kediri. (sur/pra)