RADARBEKASI.ID, BEKASI – Aroma menyengat bercampur udara lembap menyelimuti kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu Kota Bekasi.
Dari kejauhan, gundukan raksasa sampah menjulang seperti bukit buatan manusia namun tanpa keindahan. Sejak awal tahun, gunungan ini beberapa kali longsor, melahap sebagian area kerja dan mengancam keselamatan petugas di lapangan. Kini, TPA Sumur Batu berada di ambang krisis ekologis dan teknis yang siap “meledak” jika tak segera diatasi.
Longsor terbaru terjadi pada awal Oktober 2025. Meski tidak menimbulkan korban jiwa, aktivitas di Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) lumpuh sementara karena tertimbun material sampah.
“Setiap hari ada saja pergeseran, apalagi setelah hujan,” ujar Kepala UPTD TPA Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bekasi, Toni Kurniadi.
Ia menuturkan, longsor kecil kini menjadi rutinitas yang menegangkan.
“Mungkin sejak dulu sudah ada, tapi sekarang makin sering dan cepat,” tambahnya.
Fenomena ini bukan sekadar faktor alam, melainkan akibat sistem yang sudah kelelahan. TPA Sumur Batu menampung sekitar 1.400 ton sampah per hari, padahal kapasitasnya sudah jauh melampaui batas. Zona aktif terus dijejali, sementara zona lama padat dan nyaris tak bisa diolah lagi. Aktivitas alat berat di atas tumpukan turut menggoyang keseimbangan. Dalam istilah sederhana, TPA Sumur Batu kini hidup di atas bom waktu.
Pemerintah berupaya meredam ancaman tersebut. Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air (DBMSDA) Kota Bekasi telah melakukan survei untuk membangun dinding penahan longsor. Namun, Toni mengakui langkah itu hanya bersifat sementara.
Ia menekankan pentingnya transformasi besar: mengubah metode open dumping menjadi sanitary landfill, membangun Pembangkit Sampah Energi Listrik (PSEL), serta memperkuat bank sampah di tingkat RW.
Sayangnya, perubahan tak semudah wacana. “Semua sudah direncanakan, tapi butuh waktu dan anggaran besar,” katanya pelan.
Wajah Toni memantulkan kelelahan sistem birokrasi yang berjalan lebih lambat dari laju sampah yang menumpuk setiap jam.
Dari sisi legislatif, Anton, anggota Komisi II DPRD Kota Bekasi, mengaku prihatin. Ia menilai situasi ini adalah alarm keras bagi Pemkot. “Longsor sudah dua bulan terakhir, tapi belum ada perubahan mendasar. Sudah saatnya Bekasi meninggalkan cara lama,” tegasnya.
Ia mendesak agar penerapan sanitary landfill dipercepat, karena masa tenggat dari Kementerian Lingkungan Hidup semakin dekat.
“Kalau tidak segera, Bekasi bisa kehilangan kendali penuh terhadap sampahnya,” imbuhnya.
Anton tak menampik, DLH sudah menambah alat berat dan memperbaiki jalur pembuangan. Namun langkah reaktif tanpa sistem pengelolaan modern hanyalah menunda bencana, bukan mencegahnya.
“Kalau tidak ada teknologi, ya ditumpuk lagi dan lagi, sampai menimbulkan petaka,” katanya getir.
Kritik lebih tajam datang dari Bagong Suyoto, Ketua Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI). Ia menyebut bahwa Bekasi sudah terlalu lama bergantung pada model open dumping, metode kuno yang menumpuk sampah tanpa lapisan kedap dan tanpa sistem pengelolaan gas atau air lindi (leachate).
“Itu bukan hanya berisiko longsor, tapi juga mencemari air tanah dan udara. Dan ini sudah melanggar undang-undang,” ujarnya.
Menurutnya, sejak awal 2000-an, TPA Sumur Batu tidak pernah dikelola dengan prinsip keberlanjutan. Kini, dampaknya terasa: gunungan sampah menjadi dinding rapuh yang setiap saat bisa runtuh, sementara limbah cair merembes ke tanah dan sungai Ciketing.
“Bekasi kota besar, berpenduduk 2,5 juta lebih. Tidak pantas masih bergantung pada sistem pembuangan primitif seperti ini,” katanya tegas.
Bagong menawarkan tiga langkah penyelamatan, strategi jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam jangka pendek, ia menyarankan pemasangan cover soil (penutup tanah) pada area rawan longsor serta perbaikan sistem drainase dan leachate agar air hujan tidak mempercepat pergeseran sampah.
Jangka menengahnya, Pemkot harus segera memilih teknologi pengolahan modern yang siap pakai dan teruji, baik pembakaran ramah lingkungan, biodigester, atau gasifikasi.
“Harus teknologi yang mampu mereduksi 80 hingga 100 persen sampah,” jelasnya.
Adapun jangka panjangnya, fokus harus pada pemulihan lingkungan: penghijauan di sekitar TPA, pembuatan buffer zone, serta uji laboratorium kualitas air dan tanah secara berkala.
“Jangan tunggu warga sekitar jatuh sakit karena udara dan air yang tercemar,” katanya mengingatkan.
Sementara itu, di lapangan, petugas DLH bekerja nyaris tanpa henti. Setiap pagi, mereka menggaruk lumpur dan meratakan tumpukan baru. Truk-truk pengangkut datang silih berganti dari seluruh penjuru kota. Di tengah kesibukan itu, bau busuk menjadi bagian dari napas kerja. Seorang operator alat berat menuturkan lirih,
“Kami sudah biasa, tapi tetap was-was setiap hujan datang,” imbuhnya. (sur)