RADARBEKASI.ID, BEKASI – Suasana mencekam bak kuburan terasa saat memasuki kawasan Grand Mal Bekasi, di Jalan Jenderal Sudirman, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi, Senin (13/10). Pusat perbelanjaan empat lantai yang pernah menjadi primadona warga Bekasi pada awal 2000-an itu kini berubah menjadi bangunan sunyi tanpa kehidupan.
Mal yang dahulu menjadi destinasi favorit keluarga dan lokasi konser musik serta acara televisi itu resmi berhenti beroperasi sejak Januari 2025. Tidak ada lagi deru kendaraan pengunjung, musik dari tenant, atau tawa anak-anak yang berlarian di koridor.
Pantauan Radar Bekasi di lokasi, Senin (13/10), area dalam mal nyaris tak berpenghuni. Tenant-tenant yang dulu memenuhi setiap lantai kini telah hengkang. Lobi utama tampak gelap, kursi tunggu berdebu, papan peringatan lantai licin tergeletak tanpa guna, dan lampu sengaja dipadamkan untuk memangkas biaya listrik.
“Mal-nya memang sudah tutup. Tidak ada aktivitas sama sekali di dalam. Tapi belum tahu tutup permanen atau cuma sementara, tergantung manajemen mau dibawa ke mana,” ujar AS (60), petugas keamanan yang ditemui di lokasi.
AS menyebut, kini hanya beberapa ruko di sisi luar mal yang masih buka. Itu pun bisa dihitung dengan jari seperti bank, leasing kendaraan, tempat kursus, dan rumah makan kecil.
“Pedagang di dalam udah angkat kaki semua. Pengunjung sepi, banyak yang bertahan lama tapi akhirnya nggak kuat juga,” tambahnya.
Grand Mall Bekasi pernah menjadi pusat keramaian warga Bekasi dan sekitarnya. Di masa jayanya, mal ini rutin menggelar konser musik besar dan event televisi nasional. Namun, pandemi Covid-19 menjadi awal kemundurannya. Pembatasan kegiatan, larangan keramaian, dan menurunnya daya beli masyarakat membuat tenant-tenant mulai goyah.
“Pokoknya pas Covid tuh pedagang udah ngeluh sepi. Dari situ makin nggak ada harapan,” kenang AS.
Kini, sisa kejayaan hanya tampak dari papan nama besar yang mulai kusam dan cat dinding yang mengelupas.
Ironisnya, di tengah pesatnya pembangunan dan kemunculan mal-mal modern seperti Summarecon Mall Bekasi, Grand Metropolitan Mall, Lagoon Avenue, dan Pakuwon, Grand Mall justru tersisih dari persaingan.
Bagi Dahuri (51), tukang becak yang sudah belasan tahun mangkal di lampu merah depan Grand Mal, tutupnya mal ini bukan sekadar kehilangan penumpang, tapi juga kehilangan denyut kehidupan di kawasan itu.
“Kalau dulu, pas mal masih jalan, penumpang nggak ada matinya. Sehari bisa seratus lebih. Sekarang sekali dapat dua aja udah alhamdulillah,” ucapnya lirih.
Ia menambahkan, Grand Mall dulu jadi sumber rezeki banyak orang. Kini, area yang dulunya ramai justru sepi dan menyeramkan di malam hari. “Sekarang udah kayak bangunan mati. Cuma bank aja yang masih buka, kalau bank juga tutup, habis sudah,” katanya.
Nasib serupa dirasakan Warnah (47), pedagang kopi yang telah berjualan di kawasan Grand Mall selama lebih dari 15 tahun. Ia masih setia membuka warung kecil di area belakang ruko meski omzet menurun drastis.
“Dulu saya sewa ruko depan Rp70 juta setahun, tapi karena sepi, pindah ke belakang yang lebih murah,” ujarnya.
Warnah mengenang masa-masa kejayaan awal 2000-an, saat Grand Mall jadi tujuan utama warga Bekasi hingga luar kota.
“Dulu rame banget, sampai susah cari parkiran. Orang dari mana-mana belanja ke sini. Sekarang cuma ngandelin pelanggan tetap aja,” katanya sambil menyeduh kopi untuk pelanggan langganan.
Sebelum pandemi, Warnah bisa meraup omzet hingga Rp1 juta per hari. Kini, pendapatannya turun lebih dari 70 persen.
“Kadang saya sampai nangis kalau ingat. Sekarang hasil cuma cukup buat bayar listrik sama makan sehari-hari,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Menanggapi fenomena tutupnya Grand Mal Bekasi, Wali Kota Bekasi Tri Adhianto mengingatkan agar para pengelola pusat perbelanjaan lain dapat belajar dan berinovasi menghadapi perubahan zaman.
“Harus ada inovasi yang muncul dari pengelola. Pemerintah tentu berupaya agar pusat perbelanjaan tetap bisa berjalan dengan baik, tapi semua kembali ke kemampuan mereka beradaptasi,” kata Tri, Senin (13/10).
Ia menegaskan bahwa masalah tutupnya pusat perbelanjaan bukan semata soal daya beli atau inflasi, melainkan juga minimnya inovasi dan kenyamanan.
“Bukan cuma ekonomi. Mal-nya juga harus berbenah diri, karena masyarakat sekarang punya banyak pilihan. Gaya hidup dan selera juga berubah,” ujarnya.
Tri berharap, pengalaman Grand Mal Bekasi bisa menjadi pelajaran bagi pengelola mal lain agar lebih kreatif, tidak hanya mengandalkan toko fisik, tapi juga memadukan konsep digital dan pengalaman interaktif bagi pengunjung.
Hingga kini, belum ada kejelasan dari pihak pengelola Grand Mall Bekasi mengenai nasib bangunan megah tersebut. Apakah akan direvitalisasi, dialihfungsikan, atau dibiarkan terbengkalai, masih menjadi tanda tanya besar bagi warga sekitar.
Sementara itu, bagi masyarakat yang pernah merasakan gegap gempita Grand Mall di masa lalu, gedung besar yang kini gelap dan berdebu itu tak ubahnya monumen bisu tentang bagaimana waktu, tren, dan inovasi bisa mengubah wajah sebuah kota. (rez)