Donasi Rp1.000 Sehari, Gagasan Gotong Royong atau Beban Baru untuk Warga?

6 days ago 20

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Gerakan donasi Rp1.000 per hari yang digagas Gubernur Jawa Barat menuai beragam respons di kalangan masyarakat Bekasi. Program bertajuk Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) ini dipertanyakan transparansi serta kesesuaiannya dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 terkait kewajiban negara dalam mensejahterakan rakyat.

Program tersebut tertuang dalam Surat Edaran Nomor 149/PMD.03.04/KESRA tertanggal 1 Oktober 2025. Isinya mengimbau seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pelajar hingga Aparatur Sipil Negara (ASN), untuk berdonasi Rp1.000 setiap hari. Donasi diklaim akan digunakan untuk memperkuat pemenuhan hak dasar masyarakat, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan yang masih terkendala anggaran dan akses.

Gagasan ini dibungkus dengan semangat gotong royong serta kearifan lokal silih asah, silih asih, dan silih asuh. Dana akan dikumpulkan melalui rekening khusus bank BJB dan dilaporkan secara transparan melalui aplikasi Sapa Warga dan media sosial pemerintah.

Warga Kota Bekasi, Egie Fatmawati, mendukung gagasan tersebut selama dana dikelola dengan baik dan transparan.

“Selama itu bisa bermanfaat untuk orang banyak dan tepat sasaran, pasti saya dukung,” ujarnya, Minggu (5/10).

Ia menekankan pentingnya pelaporan yang terbuka kepada publik, seperti praktik iuran RT/RW yang setiap pengeluaran dicatat dan diumumkan.

“Masyarakat harus tahu dana itu untuk siapa, tujuannya apa, dan targetnya ke mana,” tegasnya.

Aktivis sosial Frits Saikat juga tidak menolak ide ini, tetapi mengingatkan perlunya kajian mendalam soal tata kelola.

“Siapa yang memberi dan siapa yang menerima harus jelas,” katanya.

Frits juga mengingatkan tanggung jawab negara terhadap fakir miskin dan anak terlantar sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Menurutnya, kewajiban memenuhi kebutuhan dasar rakyat seharusnya dipenuhi lewat APBN/APBD dan dana pajak, bukan donasi masyarakat.

“Kalau pemerintah butuh dana tambahan, harusnya optimalkan pajak atau CSR, bukan menarik donasi rutin,” ujarnya.

Kekhawatiran soal transparansi makin mencuat jika melihat potensi dana yang terkumpul. Dengan jumlah penduduk Jawa Barat sekitar 50 juta jiwa, jika setiap orang menyumbang Rp1.000, maka dana yang terkumpul bisa mencapai Rp50 miliar per hari atau Rp1 triliun per bulan. Angka ini menuntut pengawasan ketat agar tidak terjadi penyimpangan.

Mahasiswa Bekasi, Rachmad Setiadi (27), menilai gerakan ini bisa membantu menutup keterbatasan anggaran daerah, apalagi transfer dana dari pusat makin berkurang. Namun, ia khawatir aliran dana tidak akan benar-benar sampai ke bidang pendidikan dan kesehatan seperti yang dijanjikan.

“Masyarakat sudah bayar banyak jenis pajak. Jangan sampai donasi ini jadi beban tambahan,” ujarnya.

Hasan Basri (35), warga Bekasi lainnya, mengingatkan agar gerakan ini benar-benar bersifat sukarela.

“Secara prinsip partisipasi saya setuju, tapi jangan membebani. Tidak semua orang mampu keluar uang Rp30 ribu sebulan,” katanya.

Ia juga menyoroti pelaksanaan di sekolah. Menurutnya, siswa yang belum bekerja tidak seharusnya dibebani donasi. “Kalau sifatnya sukarela, jangan dipaksakan ke anak-anak. Itu jadi beban orang tua,” ujarnya.

Frits juga mengingatkan, selama ini pengelolaan APBD saja masih diwarnai isu kebocoran dan inefisiensi. Jika pemerintah belum mampu memastikan pengelolaan anggaran yang jelas sumber dan peruntukannya, muncul pertanyaan apakah dana donasi masyarakat akan lebih terjamin.

“Kalau tidak hati-hati, gerakan ini bisa jadi polemik baru di tengah masyarakat,” ujarnya.

Ia menyebut ada tiga langkah konkret yang bisa dilakukan pemerintah sebelum menggulirkan program donasi publik: pertama, menutup kebocoran PAD dan menggali potensi pendapatan daerah; kedua, menegakkan peraturan tentang CSR agar dana dari dunia usaha terserap maksimal; ketiga, meningkatkan efisiensi anggaran agar dana publik tersalurkan tepat sasaran.

Pengamat sosial dan dosen IBM Bekasi, Hamludin, menilai gerakan donasi ini sebagai bentuk gotong royong masyarakat Indonesia yang sudah lama hidup di tengah masyarakat. Ia mencontohkan gerakan kecil di lingkungannya di Jatiasih, di mana donasi warga dikumpulkan untuk membeli bahan pokok dan sayuran bagi 200 warga kurang mampu.

“Kalau digerakkan pemerintah dengan struktur dan sistem yang lebih besar, dampaknya bisa cepat terasa,” ujarnya.

Namun, ia menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas agar kepercayaan publik tumbuh.
Menurut Hamludin, kontroversi di awal pelaksanaan program semacam ini

Namun, jika pelaksanaannya jelas dan terbuka, masyarakat akan menerima. Ia juga menyarankan agar pemerintah menggandeng lembaga masyarakat atau organisasi terpercaya dalam mengelola dana donasi untuk memastikan independensi dan transparansi. (sur)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |