Demi Hindari Royalti, Kafe di Bekasi Matikan Musik

2 months ago 46

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Sore itu, aroma kopi arabika menyebar di seluruh sudut ruangan. Di sebuah kafe berkonsep minimalis di bilangan Rawalumbu, deretan meja kayu tertata rapi. Pengunjung sibuk dengan laptop dan obrolan santai. Tapi ada yang terasa janggal, tidak ada musik yang terdengar.

Tidak ada suara gitar lembut dari Ed Sheeran. Tidak pula sayup lagu pop Indonesia yang biasanya menemani secangkir kopi. Hanya dentingan sendok dan derit pintu saat pelanggan datang atau pergi. Sunyi.

“Kami sengaja tidak pasang lagu. Takut kena masalah royalti,” ujar manajer kafe, Rifka, Senin (4/8).

Menurut aturan, setiap pemutaran lagu untuk kepentingan komersial termasuk di kafe, restoran, pusat perbelanjaan, dan hotel wajib membayar royalti kepada pencipta lagu melalui lembaga manajemen kolektif (LMK). Tapi di lapangan, implementasinya masih membingungkan.

“Bayarnya ke siapa, sistemnya gimana, lagu apa aja yang kena royalti semuanya belum jelas. Jadinya kami pilih aman aja, enggak putar lagu sama sekali,” lanjutnya.

Ya, sudah hampir dua pekan belakangan tidak memutar lagu, dalam negeri maupun luar negeri. Begitu masuk ke dalam kafe, pengunjung hanya akan mendengar alunan musik instrumental.

Bahkan, kafe ini sempat menggunakan suara burung dan suara alam. “Lagunya diganti suara alam, suara burung, atau instrumen-instrumen,” katanya.

Ia sendiri merasakan perbedaannya. Memutar musik membuat suasana lebih ramai dan hidup. Sementara memutar musik instrumental membuat orang yang berada di dalam gedung mengantuk, itu juga yang pernah disampaikan oleh pelanggan belum lama ini.

“Paling kita jelaskan tentang peraturan itu, bahwa sudah tidak bisa, sementara lagunya kita pakai instrumen,” ucapnya.

Sejauh ini baru perbedaan suasana di dalam kafe yang dirasakan oleh setiap orang yang biasa datang dan menghabiskan waktu di kafe. Bagi kafe sendiri, Rifka justru menyebut pelanggan bisa menghabiskan waktu lebih lama.

“Malah justru sebenarnya karena mereka agak ngantuk ya, jadi agak lama memakan waktu di kafe, jadi malah bisa menambah kopi baru atau makanan,” tambahnya.

Berbeda dengan kafe tempat Rifka bekerja, salah satu kedai di kawasan Jalan Pangeran Jayakarta memilih untuk benar-benar tidak memutar musik. Penguat suara yang sebelumnya memutar lagu nonstop, empat hari belakangan tidak banyak difungsikan.

Karyawan kedai sesekali masih memutar lagu, saat mereka bersiap membuka kedai atau saat tidak banyak pelanggan. Semua itu dilakukan lantaran khawatir dengan terkena sanksi di tengah gonjang-ganjing kewajiban membayar royalti.

“Karena masih abu-abu, jadi kalau misalkan kita putar disini tiba-tiba kena sidak lalu diminta royalti dan segala macam kan malah jadi merepotkan,” kata salah satu karyawan kedai, Irawan (32).

Ketakutan pelaku usaha ini menurut Irawan, lantaran tidak ada edukasi tentang kewajiban membayar royalti secara masif di lapangan.

Sejauh ini ia mengaku belum memiliki alternatif musik yang bisa diputar nonstop seperti sebelumnya.

“Saya sempat mikirin kalau pakai suara burung atau suara air, disini nggak masuk. Karena kita kan tempat nongkrong, sampai detik ini saya belum nemu alternatifnya,” ucapnya.

Ia berharap pemerintah segera memberikan solusi yang baik, tidak memberatkan pelaku usaha dan membuat suasana kafe atau kedai tetap hidup. Ia juga meminta agar pemerintah tegas dalam mensosialisasikan aturan ini kepada seluruh pelaku usaha.

“Jangan sampai kita lagi dengerin musik tiba-tiba kena sidak aja, kalau begitu lebih sakit hati kesannya. Lebih baik dikasih saja kertasnya, regulasinya seperti apa sampaikan secara jelas,” ungkapnya.

Sementara itu, menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, menegaskan, kewajiban pembayaran royalti atas pemutaran musik, baik lokal maupun mancanegara, tidak hanya berlaku di ruang komersial dalam negeri, tetapi juga tengah diperjuangkan agar diberlakukan di tingkat internasional, termasuk terhadap platform digital asing.

Menurut Supratman, pihaknya telah menyampaikan, usulan ini pada forum WIPO General Assembly yang digelar di Jenewa, Swiss, baru-baru ini. Dalam forum tersebut, Kementerian Hukum secara resmi mengusulkan agar platform internasional ikut memberikan kontribusi royalti atas karya musik milik pencipta asal Indonesia.

“Sama nanti itu, mau putar lagu luar negeri, mau lagu putar (lokal), itu sama nanti (bayar royalti). Itu kan ketentuan undang-undang,” tegas Supratman belum lama ini di Depok, Jawa Barat.

Dia menjelaskan, langkah ini merupakan bagian dari upaya pemerintah Indonesia dalam menguatkan perlindungan terhadap kekayaan intelektual, khususnya dalam sektor musik, yang memiliki nilai keekonomian tinggi namun kerap terabaikan dalam konteks digital global.

“Tapi intinya, sekarang kita kan lagi berjuang. Bagaimana orang, namanya kekayaan intelektual. Jadi kalau kekayaan intelektual itu kan, baik itu ciptaan maupun yang lain, itu bisa ada nilai keekonomiannya. Dan itu harus kita hargai. Ya kan? Kita harus hargai,” ujarnya.

Pada konteks kekhawatiran pelaku UMKM terkait regulasi tersebut, pihaknya akan meminta Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) untuk menjelaskan lebih lanjut kepada publik mengenai mekanisme dan skema pembayaran royalti yang berlaku, baik untuk untuk pelaku usaha komersial dalam negeri maupun global.(sur/bry)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |