RADARBEKASI.ID, BEKASI – Setiap pagi, suara deru kendaraan bermotor mengisi jalan-jalan di Bekasi. Di antara padatnya lalu lintas, ribuan warga bergegas menuju tempat kerja, sekolah, atau aktivitas harian lainnya. Namun, di balik rutinitas itu, tersembunyi sebuah kenyataan pahit, Bekasi kini tercatat sebagai kota dengan biaya transportasi tertinggi di Indonesia.
Ya, biaya transportasi bulanan di Bekasi mencapai Rp1.918.142 atau sekitar 14,02 persen dari total pengeluaran hidup warga. Tingginya angka ini bukan semata disebabkan oleh tarif angkutan umum, melainkan oleh biaya tambahan seperti ongkos menuju dan dari titik transportasi umum atau yang dikenal dengan istilah first mile dan last mile. Data ini dikeluarkan oleh Kementrian Perhubungan belum lama ini, (lihat grafis).
Kota Bekasi memiliki sistem transportasi yang belum sepenuhnya terintegrasi. Warga sering harus menggunakan lebih dari satu moda transportasi untuk mencapai tujuan. Misalnya, dari rumah ke stasiun naik ojek online, lalu naik KRL ke Jakarta, dan lanjut angkot atau TransJakarta.
Kemacetan pun menjadi persoalan yang menambah beban. Jarak tempuh yang seharusnya hanya 30 menit bisa memakan waktu satu setengah jam. Bagi pengemudi kendaraan pribadi, konsumsi bahan bakar meningkat. Bagi pengguna transportasi online, tarif dinamis menjadi hal biasa setiap pagi dan sore hari.
Atias (26) misalnya, warga Bekasi Timur ini mengaku mengeluarkan biaya Rp48 ribu untuk pulang pergi ke tempat kerjanya di Meruya Jakarta Barat. Pengeluaran tersebut terhitung mulai dari keluar rumah, naik ojek online (ojol) menuju Stasiun Kranji, biaya yang harus ia keluarkan Rp7 ribu, pulang pergi menjadi Rp14 ribu.
Perjalanan ia lanjutkan dengan KRL dari Stasiun Kranji menuju Stasiun Taman kota, total biaya pulang pergi Rp8 ribu. Sesampainya di stasiun Taman Kota, perjalanan dilanjutkan dengan ojol dengan biaya Rp13 ribu, total pulang pergi menjadi Rp26 ribu.
Jarak dari rumah ke stasiun Kranji berkisar 800 meter, Ojol jadi pilihan logis lantaran ia harus berjalan kaki menuju jalan raya jika ingin naik ojek online. Pilihan naik ojol juga dipilih untuk melanjutkan perjalanan dari Stasiun Taman kota menuju ke tempat kerjanya lantaran tidak terhubung dengan transportasi umum.
“Dari rumah harus jalan dulu ke luar gang, jadi ya dari pada sampai kantor sudah pada basah duluan. Dari Stasiun Taman Kota itu akses ke kantor saya itu tidak dicapai sama transportasi umum, kalaupun naik transportasi umum seperti Jaklingko nanti harus baik ojol lagi,” paparnya, Selasa (5/8).
Rutinitas naik ojol membuat Atias berminat jadi konsumen prioritas, dengan cara membayar tambahan uang sebesar Rp13 ribu. Ia bisa mendapat diskon lebih besar dari penumpang biasa, bahkan hingga separuh harga.
Kadang, ia menumpang temannya dari kantor ke Stasiun terdekat untuk menghemat biaya transportasi. Itu merupakan biaya transportasi yang harus ia keluarkan selam 22 hari dalam satu bulan. Jika diakumulasi, ia menghabiskan Rp1,06 juta atau 16 persen dari total pendapatan yang ia terima setiap bulannya.
“Kalau full dalam satu bulan itu saya 22 hari kerja, berarti sekitar satu jutaan ya,” katanya.
Tantangan sebagai pekerja komuter bukan hanya biaya transportasi, Atias harus bertarung dengan waktu yang cukup menguras tenaga. Meskipun demikian, ia tetap memilih bertahan lantaran tempatnya bekerja saat ini fleksibel dengan aturan jam masuk dan pulang kerja.
“Jam kerja di kantor itu masuk jam 9, pulang jam 6. Salah satu alasan saya bertahan itu gajinya cocok, juga nggak ketat masalah absen kedatangan dan absen pulang yang penting pekerjaan selesai dan ketika ada sesuatu yang mendesak mudah untuk berkomunikasi,” tambahnya.
Untuk mobilitas di dalam kota, Atias mengaku lebih sering menggunakan kendaraan pribadi. Sesekali ia menggunakan Ojol jika tidak ada kendaraan di rumah.
Jika Atias memilih untuk menggunakan Ojol dari rumah ke stasiun, Erliza (26) justru memilih menggunakan kendaraan pribadi dari rumah ke Stasiun Bekasi. Biaya transportasi dari rumah ke stasiun ditukar dengan biaya penitipan motor, Rp6 ribu setiap harinya harus ia keluarkan.
Dari Stasiun Bekasi, perjalanan ia lanjutkan dengan KRL menuju Stasiun Tanah Abang dengan biaya Rp3 ribu untuk sekali perjalanan. Untuk sampai di tempatnya bekerja di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, ia menggunakan Busway.
Jika tiba di Stasiun Tanah Abang sebelum pukul 07:00 WIB, biaya yang ia keluarkan untuk naik Busway hanya Rp2 ribu, lebih murah dibandingkan ongkos saat pulang Rp3,5 ribu. Dengan cara dan moda yang ia gunakan, pengeluaran untuk transportasi bisa ditekan hingga Rp420 ribu.
“Sekitar 6 persen dari gaji,” ungkap warga yang tinggal di perbatasan Kota dan Kabupaten Bekasi itu.
Untuk mobilita di dalam kota, ia hampir tidak pernah menggunakan transportasi umum atau angkutan kota. Disamping lamanya waktu tunggu, kabar tentang mahalnya ongkos angkutan kota membuat ia memilih bepergian dengan kendaraan pribadi.
Bukan hanya di Bekasi, transportasi menjadi persoalan kota-kota besar di Indonesia. Pengamat Transportasi, Harun Al Rasyid menyebut bahwa Bekasi memiliki beberapa pekerjaan rumah untuk memperbaiki sistem transportasi di dalam kota, yakni infrastruktur jalan dan fasilitas-fasilitas penunjangnya.
Kota dan Kabupaten Bekasi yang saat ini menjelma menjadi kota urban membuat kebutuhan masyarakat akan transportasi tinggi. Tingginya mobilitas warga dari satu tempat ke tempat lain membuat pengeluaran masyarakat di sektor transportasi menjadi tinggi.
Jika tidak segera direspon oleh pemerintah, penggunaan kendaraan pribadi yang semakin masif akan memicu kemacetan semakin parah, pada akhirnya membuat beban pemerintah semakin tinggi. Sisi lain, tingginya biaya transportasi juga dapat memicu naiknya tingkat kemiskinan.
“Karena itu lah pemerintah menyediakan transportasi publik, transportasi publik ini untuk mengurangi pengeluaran masyarakat di sektor transportasi. Artinya kalau ini tidak ditangani dengan baik, tingkat kemiskinan akan semakin tinggi juga,” ungkapnya.
Infrastruktur jalan yang belum memadai menjadi salah satu penyebab banyak kawasan perumahan yang belum terhubung dengan transportasi publik. Infrastruktur jalan yang belum memadai tersebut juga membuat transportasi hanya bisa dilayani oleh angkutan kota, volume penumpang lebih kecil membuat biaya yang dikeluarkan lebih tinggi.
Belum lagi kemacetan, ikut menjadi faktor tingginya biaya transportasi umum. “Maka PR kedepan itu adalah, meningkatkan infrastruktur jalannya sehingga bus-bus kecil bisa masuk,” katanya.
Strategi lain yang bisa dilakukan, mengikutsertakan angkutan kota sebagai angkutan pengumpan atau Feeder bagi bus besar yang beroperasi di jalan-jalan utama.Kondisi transportasi Kota dan kabupaten Bekasi tidak berbeda jauh kata Harun. Dengan begitu, pengeluaran masyarakat di sektor transportasi juga tidak jauh berbeda.
“Saya kira dilihat dari jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhan masyarakat urban, mungkin pengeluaran untuk transportasi tidak jauh berbeda. Mungkin diantara Rp1,6 sampai Rp1,9 juta,” ucapnya. (sur)