
RADARBEKASI.ID, BEKASI – Rumah yang seharusnya menjadi tempat aman justru berubah menjadi ruang penuh trauma bagi ZA (22) dan SA (21). Sejak usia belia, mereka menyimpan luka mendalam akibat dugaan pencabulan yang dilakukan M (52), seorang ulama yang dikenal berpengaruh di lingkungannya. Bertahun-tahun bungkam, keduanya akhirnya memutuskan bersuara.
Kasus ini mencuat setelah video pengakuan korban kepada istri M beredar luas di media sosial. Dalam video itu, suara ZA terdengar bergetar saat menceritakan peristiwa pilu yang dialaminya sejak duduk di bangku SMP. Ironisnya, pengakuan itu ditanggapi dengan tuduhan balik. Istri M menolak mempercayai cerita korban dan justru menuding ZA menggoda suaminya.
BACA JUGA: Viral! Oknum Kiai di Bekasi Diduga Lakukan Pencabulan pada Anak Angkat dari Usia 12 Tahun
Kisah ZA dimulai sejak ia duduk di kelas 2 SMP. Saat teman sebayanya tengah belajar atau bermain, ia justru harus menghadapi perilaku tidak senonoh dari orang tua angkat yang seharusnya melindunginya. Meski berhasil lulus SMA dan melanjutkan kuliah di luar kota, bayang-bayang M tetap menghantuinya.
Menurut penuturan MA (24), kerabat yang mendampingi korban, M bahkan rela mendatangi ZA ke luar kota untuk melanjutkan aksinya. Tidak hanya itu, M memanfaatkan ketergantungan finansial korban dengan meminta video asusila setiap kali mengirimkan uang kuliah. “Hampir setiap hari, selalu ada permintaan. Dia gunakan uang sebagai alat tekan,” kata MA.
SA, korban lain yang merupakan keponakan M, mengalami nasib serupa. Sejak usia 13 tahun, ia tinggal bersama keluarga M dan harus menghadapi pelecehan berulang. Hubungan kekeluargaan yang seharusnya menjadi benteng justru runtuh oleh ulah bejat seorang figur publik yang dihormati.
Selama bertahun-tahun, keduanya memilih diam. ZA merasa tak sanggup lagi menahan beban setelah insiden terakhir pada 27 Juni 2025. Ia memutuskan kabur dari rumah dan bercerita pada SA. Saat itulah keduanya menyadari bahwa mereka sama-sama menjadi korban.
Sebelum melapor ke polisi, mereka lebih dulu mengadu kepada keluarga besar M. Sayangnya, upaya itu tak mendapat dukungan. Barulah pada 7 Juli, keduanya resmi melaporkan peristiwa ini ke Polres Metro Bekasi.
Akibat perbuatan tersebut, kondisi psikologis korban terganggu. Salah satu dari mereka bahkan didiagnosis mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Mereka kini rutin menjalani pendampingan psikolog. Luka itu jelas tidak mudah sembuh, terlebih pelaku merupakan sosok yang selama ini dihormati.
Polres Metro Bekasi menetapkan M sebagai tersangka dan langsung menahannya. Kasat Reskrim AKBP Agta Bhuwana Putra menyebut, dugaan pencabulan terhadap ZA terjadi sejak korban SMP, sedangkan SA mengalaminya sejak SD. “Durasi sudah sekitar delapan sampai sembilan tahun,” ujarnya.
Penyidik juga akan mendalami bukti percakapan digital antara korban dan pelaku. Karena kasus ini berlangsung lama, penyidikan dilakukan lebih detail untuk memastikan semua aspek hukum terpenuhi. M dijerat dengan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Kasus ini menyulut perhatian publik. Setelah pengakuan korban beredar, akun media sosial M dibanjiri komentar. Ribuan warganet meluapkan kemarahan, rasa muak, dan empati bagi korban. Banyak yang menyayangkan bagaimana seorang tokoh agama bisa menodai kepercayaan publik dengan perilaku bejat.
Kisah ZA dan SA menjadi kritik keras bagi masyarakat dan lembaga pendidikan agama, bahwa sosok dengan status terhormat pun tidak kebal dari kemungkinan melakukan kekerasan seksual. Ironisnya, selama ini korban sering disalahkan, bahkan dituduh sebagai penggoda, padahal mereka masih anak-anak saat pertama kali dilecehkan.
Rumah dan keluarga, yang seharusnya menjadi ruang aman, justru berubah menjadi ruang pengkhianatan. Peristiwa ini seharusnya membuka mata banyak pihak, bahwa diamnya korban bukan berarti tidak terjadi apa-apa. Bungkam mereka adalah tanda ketakutan yang menahun.(sur/ris)