RADARBEKASI.ID, BEKASI – Tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu, Kota Bekasi, kian menggunung. Longsoran sampah yang semakin sering terjadi menjadi pertanda bahwa lokasi pembuangan ini sudah berada di ambang batas kapasitas. Bau menyengat dan pemandangan menggunung dari tumpukan sampah kini menjadi potret keseharian yang sulit dihindari.
Setiap hari, sekitar 1.400 ton sampah diangkut menuju TPA Sumur Batu. Padahal, total timbulan sampah di Kota Bekasi mencapai 1.800 ton per hari. Kondisi ini menandakan persoalan sampah di kota penyangga Ibu Kota itu sudah memasuki fase darurat. Di tengah keterbatasan lahan dan sistem pengelolaan konvensional, muncul harapan baru, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Proyek yang diharapkan menjadi solusi jangka panjang ini tengah dipersiapkan oleh Pemerintah Kota Bekasi bersama pemerintah provinsi dan pusat. Namun di balik rencana megah senilai triliunan rupiah itu, masih tersimpan sederet pekerjaan rumah, yakni pembebasan lahan, kesiapan teknologi, hingga komunikasi publik yang tak kunjung tuntas.
Ya, Kota Bekasi termasuk dalam empat kawasan aglomerasi di Jawa Barat yang menjadi prioritas pembangunan PLTSa, hasil kerja sama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK), dan perusahaan Danantara.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjelaskan, proyek ini diharapkan menjadi langkah nyata pengelolaan sampah berbasis teknologi dan ramah lingkungan.
“Empat kawasan aglomerasi telah disiapkan, termasuk Kota dan Kabupaten Bekasi,” katanya.
Namun, di balik rencana besar tersebut, masih ada catatan penting. Kapasitas PLTSa hanya mampu menampung sekitar 1.000 ton sampah per hari. Artinya, masih ada sekitar 800 ton sisa sampah yang belum memiliki solusi pengelolaan yang jelas.
Ketua Komisi II DPRD Kota Bekasi, Latu Har Hary, menilai PLTSa memang solusi penting, tetapi bukan satu-satunya jalan keluar.
“Ini salah satu langkah yang harus dioptimalkan, tapi tetap diperlukan upaya lain agar semua sampah dapat terkelola. Kalau tidak tuntas, persoalan akan berulang,” ujarnya, Minggu (12/10).
Saat ini, pengelolaan di TPA Sumur Batu masih mengandalkan metode Sanitary Landfill, di mana sampah ditimbun dengan lapisan tanah untuk mengurangi pencemaran. Namun, metode ini pun memiliki batas waktu dan kapasitas.
Karena itu, pemerintah kota tengah menyiapkan pengadaan lahan baru untuk mendukung dua hal, perubahan metode pengelolaan dari Open Dumping menjadi Sanitary Landfill sepenuhnya, serta lokasi pembangunan PLTSa.
Latu menyebut, anggaran untuk pembebasan lahan sudah dialokasikan dalam APBD Perubahan. “Rencana pengadaan lahan ini akan disandingkan dengan kebutuhan PLTSa agar dapat saling menunjang,” katanya.
Latu mengingatkan pentingnya perencanaan menyeluruh.
“Kalau kapasitas tidak bisa dikurangi dari hulu, maka lahan baru pun akan cepat penuh. Semua harus terkelola, tidak boleh setengah-setengah,” ujarnya.
Rencananya, pembangunan PLTSa akan dilakukan di wilayah Kelurahan Ciketing Udik, Kecamatan Bantargebang, dengan kebutuhan lahan sekitar 4,9 hektar. Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (Disperkimtan) Kota Bekasi, Widayat Subroto, menyebut dokumen perencanaan lahan (DPT) kini tengah disiapkan bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH).
“Sekitar 4,9 hektar lahan sudah diidentifikasi untuk proyek PLTSa,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Meski proyek PLTSa menjanjikan solusi modern, persoalan sosial di lapangan tak bisa diabaikan. Latu mengingatkan, komunikasi publik harus dilakukan secara terbuka agar masyarakat di sekitar lokasi pembangunan tidak merasa diabaikan.
“Kendalanya adalah kesediaan warga untuk wilayahnya dijadikan tempat pengolahan sampah. Maka penting dikomunikasikan apa manfaat dan kompensasi yang akan diberikan,” tegasnya.
Penolakan masyarakat terhadap proyek pengolahan sampah bukan hal baru. Di banyak daerah, resistensi muncul karena warga tidak mendapatkan informasi yang cukup atau merasa dirugikan oleh dampak lingkungan. Karena itu, sosialisasi dianggap sebagai kunci keberhasilan proyek.
Wali Kota Bekasi Tri Adhianto sebelumnya menegaskan bahwa pihaknya tengah berpacu dengan waktu.
“Kita sudah memenuhi persyaratan dari sisi volume dan pengangkutan. Dukungan DPRD dalam alokasi anggaran pembebasan lahan akan mempercepat realisasi proyek senilai Rp2,6 triliun ini,” katanya.
Tri juga memastikan bahwa Bekasi siap menjadi contoh kota yang mampu mengelola sampah dengan pendekatan teknologi ramah lingkungan.
Meski PLTSa dirancang untuk mengelola 1.000 ton sampah per hari, masih ada sekitar 800 ton sisa yang belum tertangani. DLH Kota Bekasi tengah mengkaji sejumlah opsi tambahan, termasuk pembangunan Refuse Derived Fuel (RDF), teknologi yang mengubah sampah menjadi bahan bakar alternatif.
Selain itu, pemerintah kota juga menggencarkan pembentukan bank sampah di 1.020 RW untuk mendorong partisipasi warga dalam mengelola sampah dari sumbernya. Skema ini diharapkan bisa mengurangi volume sampah yang berakhir di TPA.
Teknologi PLTSa sejatinya bukan hal baru.
Sejak 2019, rencana pembangunan fasilitas serupa sudah diusulkan di beberapa kota besar, termasuk Bekasi. Namun, hingga kini, realisasinya kerap tertunda karena persoalan regulasi, pendanaan, dan Tipping Fee biaya yang harus dibayar pemerintah daerah kepada operator pengelola sampah.
Ketua Umum DPN KAWALI, Puput TD Putra, menyebut hambatan-hambatan itu perlu segera diselesaikan agar proyek PLTSa di Bekasi tidak bernasib sama. “Kalau benturan kebijakan bisa diselesaikan, maka pengolahan sampah berbasis teknologi ini bisa dijalankan di kota besar dengan lancar,” ujarnya.
Puput juga menyoroti pentingnya transparansi dan pelibatan publik. Ia menilai, proyek semacam ini seringkali gagal mendapat kepercayaan masyarakat karena minimnya keterbukaan.
“Masyarakat harus tahu apa manfaatnya dan bagaimana mekanisme kompensasi. Tanpa transparansi, resistensi pasti muncul,” tambahnya.
Selain itu, ia menyoroti aspek sosial lain, yakni keberadaan para pemulung yang selama ini menggantungkan hidup dari aktivitas di TPA.
“Pemulung adalah bagian dari ekosistem pengelolaan sampah. Mereka punya peran dan kearifan lokal yang harus diakomodasi dalam sistem baru,” katanya.
Masalah sampah di Bekasi kini menjadi ujian nyata bagi tata kelola kota modern. PLTSa memang menawarkan harapan baru, tetapi tanpa pengelolaan menyeluruh dari hulu hingga hilir, persoalan lama bisa kembali menghantui.
Sampah tidak hanya persoalan bau dan tumpukan. Ia adalah cermin peradaban, ukuran seberapa bijak sebuah kota memperlakukan sisa kehidupan warganya.
Bekasi kini berdiri di persimpangan, antara terus menimbun masalah atau berani memulai langkah baru menuju kota yang benar-benar bersih, mandiri, dan berkelanjutan.(sur)