Moratorium Tambang Jawa Barat: Lingkungan Bernapas, Ekonomi Gelisah

1 week ago 20

Beranda Opini Moratorium Tambang Jawa Barat: Lingkungan Bernapas, Ekonomi Gelisah

Oleh: Mochammad Nur (Mahasiswa Doktoral PSL IPB, Praktisi Pertambangan)

ILUSTRAS: Foto udara lahan karst di Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor, yang sudah rata dengan tanah. FOTO: RIVALDI/RADAR BOGOR

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Pemerintah Provinsi Jawa Barat baru saja mengambil langkah berani dengan menghentikan sementara (moratorium) perpanjangan izin tambang. Kebijakan ini digagas untuk menekan laju kerusakan lingkungan yang semakin parah akibat praktik tambang yang tidak sesuai standar.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan, “Tambang-tambang yang berpotensi merusak lingkungan dan tidak memiliki standar kerja yang baik sudah banyak kita tutup,” (Liputan6, 31 Mei 2025).

Antara Lingkungan dan Pembangunan

Moratorium tambang berarti pemerintah tidak lagi memberi izin baru atau memperpanjang izin lama sampai ada perbaikan aturan dan pengawasan. Kebijakan ini terutama menyasar penambangan galian C—pasir, batu, dan tanah urug—yang meski sangat dibutuhkan untuk pembangunan, justru sering menjadi biang pencemaran, jalan rusak, konflik sosial, hingga longsor. Prinsip yang ingin ditegakkan jelas: pemanfaatan sumber daya alam harus memperhatikan daya dukung lingkungan, menjaga keadilan antar-generasi, dan dilakukan secara transparan.

Fakta Lapangan

Hingga 2024, Jawa Barat tercatat memiliki 417 izin usaha pertambangan (IUP) aktif. Namun di sisi lain, masih ada 176 titik tambang ilegal. Sebanyak 118 di antaranya sudah ditutup, sisanya dalam proses penindakan. Ironisnya, aktivitas ilegal ini tetap marak karena tingginya permintaan bahan tambang (Detik, 21 januari 2025)

Dampaknya sangat nyata. Data BPS menunjukkan jumlah pekerja di sektor pertambangan Jawa Barat menurun tajam, dari rata-rata 102 ribu orang pada tiga tahun sebelumnya menjadi hanya 65 ribu orang pada 2024. Puluhan ribu kehilangan mata pencaharian. Di sisi lain, kerugian lingkungan terus menggunung. Tragedi longsor di Gunung Kuda, Cirebon, yang menewaskan 19 pekerja, menjadi peringatan keras betapa mahalnya harga kelalaian dalam pertambangan.

Dua Sisi Moratorium

Dari sisi positif, moratorium membantu menekan kerusakan lingkungan, mempersempit ruang bagi tambang ilegal, dan memberi waktu bagi pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh. Namun, dari sisi negatif, kebijakan ini menimbulkan kekurangan bahan baku pembangunan, kenaikan harga material, hilangnya lapangan kerja, penurunan pajak daerah, bahkan potensi praktik pungli dalam perizinan.

Pandangan Penulis

Sebagai praktisi pertambangan selama seperempat Abad—Dua Dekade di antaranya dihabiskan di quarry Jawa Barat—penulis nyaris tidak pernah melihat wilayah bekas tambang benar-benar pulih menjadi lebih baik. Kesejahteraan masyarakat sekitar pun jarang terwujud. Dampak lingkungan hampir selalu lebih besar daripada manfaat yang diperoleh.

Karena itu, moratorium ini penulis anggap sebagai langkah cerah dan penuh harapan. Namun, penulis juga menekankan pentingnya kecepatan pemerintah dalam memperbaiki regulasi dan sistem pengawasan. Jangan sampai perusahaan tambang yang patuh aturan ikut dirugikan terlalu lama. Keadilan harus dijaga: lingkungan dan masyarakat memang wajib dilindungi, tetapi pelaku usaha yang tertib juga tidak boleh dikorbankan.

Jalan Tengah

Agar moratorium tidak hanya menjadi “rem darurat”, ada beberapa langkah yang perlu ditempuh pemerintah:

  • Melakukan pendataan menyeluruh terhadap perusahaan tambang yang legal dan memiliki komitmen keberlanjutan.
  • Audit pajak ketat untuk mencegah manipulasi produksi.
  • Meningkatkan jumlah inspektur tambang agar pengawasan tidak timpang.
  • Membuat sistem peringkat perusahaan sehingga izin hanya diberikan kepada yang benar-benar memenuhi standar keberlanjutan.

Penutup

Moratorium tambang di Jawa Barat adalah momentum penting untuk membenahi tata kelola pertambangan yang selama ini lebih banyak membawa kerugian ekologis dan sosial. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada konsistensi dan kecepatan pemerintah dalam memperbaiki regulasi serta mekanisme pengawasan.

Lingkungan memang harus diselamatkan, tetapi kepentingan pembangunan dan keberlangsungan usaha yang tertib juga tidak boleh diabaikan. Hanya dengan keseimbangan inilah tambang dapat benar-benar memberi manfaat, bukan sekadar meninggalkan luka bagi masyarakat dan generasi mendatang. (*)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |