RADARBEKASI.ID, BEKASI – Puskesmas dan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) bakal dilibatkan untuk melakukan pemantauan rutin terhadap satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG).
Hal ini disampaikan oleh pemerintah usai rapat koordinasi kementerian dan lembaga menyikapi insiden keracunan makanan bergizi gratis (MBG) yang terjadi di sejumlah daerah, Minggu (28/9).
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menegaskan bahwa keselamatan anak harus menjadi prioritas utama.
Ia menginstruksikan seluruh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang bermasalah ditutup sementara. Tak hanya itu, pemerintah juga mewajibkan sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) bagi setiap dapur MBG.
“Puskesmas di seluruh tanah air serta UKS harus ikut aktif, tanpa menunggu permintaan, untuk memantau jalannya MBG secara rutin,” kata Zulhas.
Menurutnya, keterlibatan langsung tenaga kesehatan di sekolah dan masyarakat adalah kunci agar program ini benar-benar berjalan sesuai standar.
Presiden Prabowo Subianto sendiri mengakui bahwa program sebesar MBG wajar mengalami kendala di awal. Namun, ia menegaskan persoalan keracunan harus segera diselesaikan.
“Keselamatan anak jangan sampai dikompromikan,” tegasnya.
Instruksi presiden itu langsung ditindaklanjuti dengan rapat koordinasi yang melibatkan Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, dan sejumlah lembaga lain. Mendagri Tito Karnavian bahkan dijadwalkan menggelar Rakor dengan seluruh kepala daerah untuk membahas teknis pelaksanaan MBG di daerah.
Epidemiolog dan Pengajar Kebijakan Kesehatan, Dicky Budiman, menyampaikan bahwa kasus keracunan yang terjadi belakangan ini adalah tanda adanya masalah sistemik. Dari hasil laboratorium di Jawa Barat, ditemukan dominasi bakteri Salmonella dan Bacillus Cereus.
Menurut Dicky, hal itu menandakan buruknya sanitasi, manajemen suhu, penyimpanan makanan, hingga adanya kontaminasi silang.
“Gabungan keduanya menunjukkan persoalan yang bukan hanya soal bahan baku, tapi operasi dapur dan distribusi,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya evaluasi komprehensif, melibatkan organisasi profesi, dokter anak, hingga LSM. Menurutnya, program sebesar MBG yang mengandalkan dana publik tidak boleh hanya mengejar kuantitas, melainkan harus mengutamakan keselamatan dan kualitas.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melalui surat terbuka juga melayangkan kritik keras. Ketua Umum IDAI, dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K), menyebut ribuan kasus keracunan yang menimpa anak sekolah sebagai ancaman serius.
“Satu anak keracunan saja sudah masalah besar, apalagi ini ribuan. Evaluasi menyeluruh mutlak dilakukan,” tegasnya.
IDAI menilai program MBG berpotensi baik, tetapi harus dibarengi dengan pengawasan ketat, standar gizi yang jelas, serta mekanisme aduan masyarakat. Mereka juga menekankan perlunya prosedur mitigasi keracunan, agar setiap insiden bisa ditangani cepat.
Sekretaris Umum IDAI, dr. Hikari Ambara Sjakti, menambahkan bahwa pihaknya siap berkolaborasi dengan pemerintah dan sekolah.
“Kami ingin memastikan MBG benar-benar memberikan manfaat kesehatan dan masa depan lebih baik bagi anak-anak Indonesia,” ucapnya.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, turut mengingatkan bahwa keracunan makanan tidak boleh dianggap remeh. Jika berulang, hal itu bisa memicu penyakit kronis.
“Pencegahan harus dilakukan sejak dapur, mulai dari memasak dengan suhu tinggi, mencegah kontaminasi silang, hingga menjaga makanan hangat tetap hangat dan makanan dingin tetap dingin,” jelas Ari.
Ia menegaskan, kasus keracunan yang menimpa anak sekolah seharusnya menjadi alarm keras. Pemerintah tidak boleh menunggu insiden baru bertindak, tetapi harus menerapkan langkah pencegahan yang konsisten.
Di Bekasi, beberapa orang tua murid menyambut baik kehadiran MBG. Mereka menganggap program ini bisa meringankan beban ekonomi keluarga sekaligus memastikan anak-anak mendapatkan gizi yang layak. Namun, tak sedikit pula yang masih waswas.
“Kami senang anak-anak dapat makan gratis, tapi kalau dengar kabar keracunan di daerah lain, jadi takut juga,” kata Rini, warga Bekasi Selatan. (sur/ lyn/wan/oni)