RADARBEKASI.ID, BEKASI – Mal yang dulu menjadi simbol modernitas Kota Bekasi kini tampak meredup. Dari luar, gedung-gedung besar itu masih berdiri kokoh. Lampu neon masih menyala, papan iklan masih bergantian menampilkan promosi diskon, namun lorong-lorongnya semakin lengang. Banyak tenant memasang tanda “ditutup sementara” atau bahkan sudah permanen meninggalkan kiosnya.
Fenomena ini tidak hadir seketika. Sejak pandemi Covid-19 tahun 2020, denyut kehidupan mal di Bekasi tidak pernah benar-benar pulih. Selama lima tahun terakhir, pengunjung kian jarang datang. Sebagian besar memilih berbelanja secara daring, sementara isu turunnya daya beli masyarakat kian memperburuk keadaan.
Grand Mall Bekasi adalah salah satu bukti nyata. Pusat perbelanjaan yang pernah menjadi primadona warga Bekasi itu resmi menutup operasionalnya pada awal 2025. Padahal, sekitar satu dekade lalu, mal ini menjadi rujukan utama warga untuk sekadar jalan-jalan, nonton bioskop, atau mencari kebutuhan keluarga. Kini, gedung megah itu hanya menyisakan cerita nostalgia.
Borobudur Plaza, mal legendaris lainnya, bahkan hanya beroperasi setahun sekali, menjelang Idul Fitri. Di luar itu, pintu kaca besar mal tetap terkunci, meninggalkan kesan sepi dan tak lagi bergairah.
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Bekasi, Djaelani, tak menampik adanya perubahan besar pada pola belanja masyarakat.
“Memang daya beli sekarang belum signifikan seperti tahun 2019,” ujarnya, Senin (22/9).
Menurutnya, belanja online menjadi faktor utama yang menggerus jumlah pengunjung mal. Dengan hanya beberapa ketukan jari di ponsel, konsumen bisa mendapatkan barang yang diinginkan, lengkap dengan promo gratis ongkir hingga diskon besar. Bandingkan dengan belanja offline, yang memerlukan ongkos transportasi, parkir, dan waktu.
Promo yang dulu menjadi senjata andalan mal, seperti “Buy One Get One” atau diskon musiman, kini dianggap kurang menarik. Bahkan, istilah “Rojali” (Rombongan Jarang Beli) dan “Rohana” (Rombongan Hanya Nanya) muncul sebagai gambaran satir dari perilaku pengunjung mal pascapandemi: datang beramai-ramai, tapi pulang tanpa bertransaksi.
Tenant yang masih relatif ramai hanyalah sektor makanan dan minuman (Food and Beverage/FnB). Restoran cepat saji, kafe kekinian, hingga gerai minuman tetap menjadi magnet utama. Mal tidak lagi sekadar tempat berbelanja, melainkan ruang hangout dan bersosialisasi.
Kondisi semakin rumit ketika jumlah mal di Bekasi terus bertambah. Saat ini, total ada 23 mal di wilayah Bekasi, dengan 17 di antaranya berada di Kota Bekasi. “Pertumbuhan orang itu kan nggak signifikan, tapi pertumbuhan mal itu tinggi,” kata Djaelani.
Artinya, jumlah penduduk yang menjadi konsumen tidak sebanding dengan jumlah mal yang tersedia. Akibatnya, pengunjung terpecah ke berbagai titik, membuat sebagian mal kesulitan menjaga okupansi. Padahal, untuk dikategorikan aman, sebuah pusat perbelanjaan membutuhkan tingkat okupansi minimal 85 persen.
Meski begitu, ada pula mal yang tetap ekspansif.
Beberapa pengelola mencoba menawarkan konsep baru: menggabungkan pusat belanja dengan apartemen, perkantoran, hingga fasilitas publik. Dengan integrasi tersebut, mal diharapkan tak hanya jadi tempat belanja, tapi juga pusat aktivitas sosial, edukasi, hingga rekreasi.
“Kalau dulu hanya shopping, sekarang tidak. Harus ada hangout, harus ada event edukasi anak, hingga kompetisi. Jadi pengelola harus berubah,” ujar Djaelani menegaskan.
Dari sudut pandang akademisi, fenomena ini merupakan bagian dari siklus sejarah pasar. Nur Imam Saifuloh, dosen sekaligus pengamat ekonomi dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mulia Pratama, menilai bahwa kejayaan mal memang berada di ujung tanduk.
“Menurut saya, era mal mungkin akan selesai. Tidak hanya tergantikan online, tetapi beberapa brand terkenal itu justru membuat outlet sendiri,” katanya.
Nur Imam menekankan bahwa kini banyak brand besar yang memilih membuka toko mandiri di luar mal, bahkan memperkuat kanal online. Dari sisi konsumen, belanja online jauh lebih praktis, efisien, dan sering kali lebih murah.
“Itu yang saya lihat sehingga kecenderungan untuk membeli dalam tanda kutip ke mal itu berkurang,” tambahnya.
Namun, ia tidak menutup kemungkinan bahwa mal yang menawarkan fungsi tambahan, seperti terintegrasi dengan apartemen atau hotel, masih punya daya hidup. Penghuni kawasan tersebut otomatis menjadi konsumen potensial bagi mal yang ada di bawahnya.
Sebaliknya, mal yang hanya mengandalkan pengalaman berbelanja tanpa inovasi akan semakin sulit bertahan.
Selain persoalan perilaku konsumen, isu daya beli masyarakat juga memperparah kondisi.
Nur Imam menyebut, meski sempat ada peningkatan angka pertumbuhan ekonomi nasional, hal itu tidak dirasakan secara riil oleh masyarakat. “Saat kemarin ada pertumbuhan ekonomi naik itu seperti anomali. Karena sektor riil itu masyarakat benar-benar melemah,” ujarnya.
Ia menilai pemerintah dapat berperan sebagai penyeimbang, dengan meningkatkan daya beli melalui belanja pemerintah. Intervensi semacam itu, menurutnya, bisa memberikan ruang napas bagi pelaku usaha, termasuk tenant di mal.
“Kalau si pembeli ini daya belinya kurang, harus dinaikkan melalui belanja pemerintah,” tambahnya.
Meski menghadapi situasi berat, harapan belum sepenuhnya padam. Bekasi masih memiliki potensi pasar yang kuat, terutama karena faktor geografis dan akses transportasi. Kehadiran LRT, Commuter Line, hingga jalan tol membuat Bekasi menjadi kawasan strategis dalam aglomerasi Jabodetabek.
Selain itu, masih ada mal baru yang berani membuka dan bahkan memperluas area. Fakta ini menunjukkan bahwa sebagian pelaku usaha masih percaya pada daya tarik Bekasi sebagai pasar ritel.
Bagi pengelola mal, tantangan utama saat ini bukan hanya menarik pengunjung, tetapi juga menciptakan alasan mengapa orang harus datang. Mal perlu menjadi ruang hidup baru: tempat berbelanja, bersosialisasi, mencari hiburan, belajar, hingga bekerja.
Konsep multifungsi inilah yang diyakini bisa menyelamatkan eksistensi pusat perbelanjaan di masa depan.
Bagi sebagian warga, mal bukan sekadar tempat belanja, melainkan bagian dari perjalanan hidup. Banyak cerita yang lahir di lorong mal: kencan pertama, buka bersama keluarga, hingga tempat anak-anak bermain di akhir pekan.
Kini, sebagian dari cerita itu tinggal kenangan. Grand Mall Bekasi yang dulunya penuh tawa, kini hanya menyisakan gedung kosong. Borobudur Plaza yang dulu jadi tujuan keluarga, kini hanya sesekali hidup saat lebaran.
Namun, perubahan adalah keniscayaan. Seperti pasar tradisional yang perlahan tergeser oleh mal beberapa dekade lalu, kini mal sendiri menghadapi kompetitor baru, dunia digital dan brand-brand yang memilih jalannya sendiri.
Apakah era kejayaan mal benar-benar berakhir? Ataukah mereka akan bangkit dengan wajah baru? Jawabannya masih menunggu waktu. Yang pasti, di tengah redupnya cahaya mal, tersisa pertanyaan besar, akankah Bekasi tetap menjadi kota mal, atau akan menuliskan bab baru dalam sejarah konsumsinya?(sur)