RADARBEKASI.ID, BEKASI – Keluarga pelajar kelas 10 SMKN di Cikarang Barat yang menjadi korban dugaan perundungan hingga menyebabkan rahang kiri patah menyatakan menolak upaya diversi apabila ditawarkan pada tingkat penyidikan atau kepolisian. Keluarga menginginkan agar proses hukum tetap berlanjut hingga ke tingkat pengadilan.
Upaya diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke luar peradilan pidana sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), dinilai keluarga korban tidak akan memberikan efek jera kepada terduga pelaku.
BACA JUGA: Penanganan ABH Kasus Perundungan Pelajar SMKN di Cikarang Barat Harus Diupayakan Diversi
Ayah korban, AAI (16), Indra, menegaskan bahwa proses hukum harus tetap berjalan. Ia menyebut, diversi tidak akan memberikan efek jera. Indra justru khawatir tindakan serupa akan menimpa pelajar lain setelah para terduga pelaku bebas dari jeratan hukum.
“Keluarga besar mau proses itu tetap berlanjut. Karena kalau nggak gitu, nggak ada efek jera nantinya buat mereka dan khawatir bullying itu masih tetap berlanjut. Kita masih belum bisa menerima untuk kata-kata damai, masih belum bisa diterima di hati kami sebagai pihak keluarga,” tegas Indra kepada Radar Bekasi, Senin (22/9).
Sebelum kasus ini ramai, lanjut Indra, pihaknya sudah memberi waktu dua minggu kepada pihak sekolah dan keluarga terduga pelaku untuk melakukan mediasi. Namun, menurutnya, tidak ada upaya serius dari kedua pihak.
Menurutnya, pihak keluarga terduga pelaku baru mulai menunjukkan perhatian setelah polisi menetapkan status hukum terhadap para terduga pelaku sebagai tersangka dan anak berkonflik dengan hukum.
“Keluarga pelaku udah dua kali datang, dia bilang tidak mengetahui kalau anaknya terlibat. Cuma karena di rumah saya masih banyak yang tamu, kita masih belum kepikiran ke situ aja (diversi). Keluarga pelaku minta kebesaran hati kita untuk bisa memaafkan. Ya, kami keluarga korban memaafkan, tapi hukum tetap berjalan,” tegasnya.
Penolakan terhadap diversi, menurut Indra, didasari oleh kondisi anaknya yang mengalami cedera serius dan harus menjalani operasi mulut dengan pemasangan pen di rahangnya. Ia menyayangkan pihak sekolah yang tidak sigap dalam menjaga keamanan anak-anak di lingkungan sekolah.
“Karena mereka sendiri tidak melihat, tidak mengurus dan tidak melihat secara langsung anak saya itu seperti apa kondisinya dari awal di rumah sakit sampai dioperasi sampai pakai selang, pihak keluarga pelaku dan pihak sekolah itu enggak ada yang tahu, enggak ada yang melihat sama sekali,” terang Indra.
Saat ini, kondisi korban berangsur membaik. Selang makan yang sebelumnya digunakan telah dilepas. Namun, AAI (16) masih hanya bisa mengonsumsi makanan lunak dan susu khusus untuk penguatan tulang.
“Untuk anak kita udah bisa makan sendiri, cuma masih yang lunak-lunak aja, masih dijaga untuk makanannya gitu aja. Kalau jalan udah bisa, cuma masih pelan-pelan,” tandas Indra.
Sementara itu, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Bekasi, Fahrul Fauzi, menyampaikan pihaknya akan terus mendorong upaya diversi dalam penanganan anak berkonflik dengan hukum (ABH) tersebut. Selain itu, DP3A memastikan akan memberikan pendampingan hukum baik untuk korban maupun untuk anak berkonflik dengan hukum.
Dikatakannya, hingga kini pihak keluarga para ABH belum meminta pendampingan hukum. Ia menegaskan bahwa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), DP3A akan mendorong upaya diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke luar peradilan pidana bagi ABH.
“Itu nanti akan kita sarankan ke kepolisian (diversi),” ujarnya.
Namun, lanjutnya, proses diversi ini hanya dapat dilaksanakan jika keluarga korban setuju. Jika keluarga korban menolak, maka proses hukum akan terus berlanjut.
“Tapi, diversi ini gimana keluarga korban. Kalau keluarga korban berkenan, maka diversi ini bisa dilaksanakan. Kalau keluarga korban tidak berkenan, maka proses hukum harus berlanjut,” ucap Fahrul.
Menurut Fahrul, proses diversi dapat dilakukan pada tiga tahapan, yaitu tingkat penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan, dan pemeriksaan perkara di pengadilan negeri. Oleh karena itu, apabila diversi gagal di tingkat penyidikan, upaya tersebut masih dapat dilanjutkan pada tahap berikutnya.
“Nanti di kejaksaan ada penawaran lagi untuk diversi. Begitu juga di pengadilan sebelum ada vonis. Hakim akan menawarkan diversi sebelum dimulainya proses persidangan. Diversi ini merupakan bagian dari pendekatan restorative justice,” katanya. (ris)