Kasus Perundungan Pelajar SMKN di Cikarang Barat, Polisi Tetapkan Satu Tersangka dan Empat ABH

3 weeks ago 26

Beranda Berita Utama Kasus Perundungan Pelajar SMKN di Cikarang Barat, Polisi Tetapkan Satu Tersangka dan Empat ABH

TERBARING: Indra bersama istrinya memberikan asupan susu kepada anaknya yakni AAI pelajar kelas 10 SMKN di Cikarang Barat yang terbaring akibat mendapatkan tindak kekerasan dari kakak kelasnya di Cikarang Barat, Kamis (18/9). FOTO: ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Polsek Cikarang Barat telah menetapkan status hukum terhadap lima orang terduga pelaku bullying atau perundungan yang dialami AAI (16), pelajar kelas 10 SMKN di Cikarang Barat. Dari jumlah itu, satu orang ditetapkan sebagai tersangka, sementara empat lainnya sebagai anak berkonflik dengan hukum (ABH) karena masih di bawah umur.

Insiden tersebut menyebabkan rahang kiri korban mengalami patah setelah diduga dipukuli oleh kakak kelasnya.

Kanit Reskrim Polsek Cikarang Barat, Iptu Engkus Kusnadi, menyebutkan sebanyak 12 orang telah diperiksa dalam kasus ini. Mereka terdiri dari orangtua korban dan guru sebagai saksi serta para pelajar terduga pelaku sebagai anak berhadapan dengan hukum (ABH).

Berdasarkan gelar perkara, penyidik menemukan bukti cukup. Satu terduga pelaku yang sudah dewasa dan dikeluarkan dari sekolah ditetapkan sebagai tersangka dan empat pelajar sebagai anak berkonflik dengan hukum (ABH).

“Empat orang ABH, mereka ini siswa dari SMKN 1 Cikarang Barat atau kakak kelas korban. Sedangkan satu orang jadi tersangka karena dewasa,” jelas Engkus, Minggu (20/9).

Sebagaimana diketahui, penetapan anak berkonflik dengan hukum didasarkan pada UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA. Dalam UU SPPA dijelaskan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun.

Engkus mengungkapkan, kasus dugaan perundungan ini dipicu oleh foto korban yang diunggah di status aplikasi pesan singkat. Dalam foto tersebut, korban berpose bersama seorang teman perempuan dengan memakai seragam sekolah. Hal itu dianggap melanggar aturan tidak tertulis yang dibuat kakak kelas korban.

“Korban ini berfoto bersama dengan kawannya perempuan menggunakan pakaian almamater sekolah, yang menurut mereka itu adalah pelanggaran menurut aturan yang tidak tertulis di kalangan sekolah tersebut,” ungkap Engkus.

Menurutnya, aturan tersebut dibuat oleh para kakak kelas korban, bukan aturan resmi dari pihak sekolah. Dari hasil pemeriksaan juga terungkap, para terduga pelaku tergabung dalam sebuah kelompok pelajar yang dikenal dengan sebutan basis.

“Dari keterangan yang sudah kami dapat dari pihak sekolah, mereka itu terdaftar dalam kelompoknya basis. Yaitu orang-orang yang ada dalam catatan khusus dari pihak pembinaan kesiswaan,” tambahnya.

Saat ini, polisi masih mendalami peran masing-masing ABH dan tersangka. Engkus memastikan proses hukum terhadap para ABH tetap berjalan sesuai ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA.

“Karena ini anak di bawah umur, maka kami akan menangani sesuai dengan Undang-Undang Peradilan Anak,” tuturnya.

Satu tersangka dijerat Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan/atau Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Sementara empat ABH dijerat Pasal 76C jo Pasal 80 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Sementara itu, orangtua korban, Indra Prahasta (41), berharap kepada para terduga pelaku dapat dihukum sesuai dengan UU yang berlaku. Ia mengecam tindakan kekerasan fisik yang dilakukan para kakak kelas terhadap anaknya.

“Pihak keluarga minta keadilan, pelaku harus ditindak. Saya ingin cepat selesai kasus ini,” ucap Indra.

Ia juga menyesalkan lemahnya pengawasan pihak sekolah terhadap para pelajar. Menurutnya, kasus ini seharusnya bisa dicegah jika ada pengawasan ketat dari guru maupun pihak sekolah, termasuk dengan tidak membiarkan siswa keluar lingkungan sekolah saat jam istirahat.

“Pihak sekolah itu harus kebenahi semuanya. Dari ruang lingkup sekolah itu, yang terlalu gampang anak sekolah itu, bolos itu aja. Jadi evaluasi buat mereka juga,” sambungnya.

Sementara itu, Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Bekasi, Titin Fatimah, menyatakan pihaknya sudah menurunkan tenaga ahli untuk memberikan pendampingan psikologis kepada korban.

“Karena memang korban itu mengalami trauma yang harus mendapatkan penanganan psikolog. Bila memang diperlukan perlindungan LPSK, kami juga akan koordinasikan,” pungkas Titin. (ris)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |