Beranda Berita Utama ABH Kasus Perundungan Pelajar SMKN di Cikarang Barat Tidak Boleh Dikeluarkan dari Sekolah

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan bahwa anak yang berstatus sebagai anak berkonflik dengan hukum (ABH) tidak boleh dikeluarkan dari sekolah. Penegasan ini disampaikan menyusul kasus dugaan perundungan terhadap AAI (16), pelajar kelas 10 SMKN di Cikarang Barat hingga menyebabkan rahang kirinya patah.
Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, menyatakan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, anak yang terlibat dalam kasus kekerasan tidak dapat serta-merta dikeluarkan dari sekolah.
BACA JUGA: ABH Kasus Perundungan Pelajar SMKN di Cikarang Barat Bertambah Satu
“Aturan dalam Permendikbud 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan pada Satuan Pendidikan, anak tidak boleh dikeluarkan dari sekolah,” tegas Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, Minggu (22/9).
Aris mengingatkan bahwa penanganan terhadap terduga pelaku juga harus mempertimbangkan prinsip perlindungan anak. Menurutnya, sanksi terhadap ABH tetap dapat diberikan oleh pihak sekolah, namun harus bersifat mendidik dan tidak merampas hak anak atas pendidikan.
“Boleh disanksi, tapi harus edukatif dan mempertimbangkan prinsip dasar perlindungan anak,” ujarnya.
Lebih lanjut, Aris menyarankan agar pembinaan terhadap ABH dilakukan secara berkelanjutan. Jika pun harus dipindahkan ke sekolah lain, hal tersebut harus melalui proses asesmen terlebih dahulu.
BACA JUGA: Keluarga Korban Kasus Perundungan Pelajar SMKN di Cikarang Barat Tolak Diversi
“Mestinya anak dibina hingga pindah sekolah berdasarkan hasil assessment kesiapan belajar,” katanya.
Sementara, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Bekasi, Fahrul Fauzi, mengatakan anak yang terlibat kasus hukum tidak dapat diperlakukan layaknya narapidana. Umumnya, mereka dititipkan di Balai Pemasyarakatan (Bapas) atau lembaga sosial demi menjamin hak pendidikannya tetap terpenuhi.
“ABH tidak ditahan di sel umum, tapi dititipkan untuk tetap bisa sekolah,” kata Fahrul.
Pihaknya saat ini sedang mendalami aspek hukum terkait kemungkinan penahanan terhadap anak yang menjadi terduga pelaku kekerasan. Fahrul menegaskan bahwa penegakan hukum terhadap anak merupakan langkah terakhir yang harus ditempuh.
“Kalau pelakunya anak, hukumannya dikecualikan. Semua hak anak harus tetap diupayakan,” ujarnya.
Fahrul menekankan bahwa dalam konteks peradilan anak, baik terduga pelaku, korban, maupun saksi tetap harus dipandang sebagai anak yang berhak atas perlindungan. (oke/ris)