Pemkot-Pemkab Bekasi ‘Tercekik’ Pemotongan Dana Transfer Pusat

1 week ago 22

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Pemerintah daerah di Jawa Barat dipaksa mengencangkan ikat pinggang lebih ketat tahun depan. Pemotongan dana transfer dari pemerintah pusat memicu keresahan fiskal di 27 kota dan kabupaten.

Total pengurangan mencapai Rp2,7 triliun untuk tingkat kabupaten/kota, ditambah Rp2,458 triliun untuk Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Kota Bekasi sendiri harus rela kehilangan Rp156 miliar. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi ancaman nyata bagi kelanjutan pembangunan dan pelayanan publik.

Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, mengakui kondisi ini sebagai pukulan serius.

“Kota Bekasi akan tereliminasi sekitar Rp156 miliar. Karena itu, seluruh jajaran harus melakukan efisiensi dan memaksimalkan pendapatan daerah. Tapi jangan sampai membebani masyarakat,” tegasnya.

Tri meminta perangkat daerah hingga BUMD menekan kebocoran PAD, memaksimalkan piutang pajak dan retribusi, serta mencari cara kreatif menjaga arus kas.

Kritik datang dari DPRD Kota Bekasi. Ketua Komisi III DPRD, Arif Rahman Hakim, mengingatkan agar pemerintah tidak hanya berwacana di ruang rapat.

“Kita jangan teriak-teriak saja di dalam gedung. Jangan menganalisa dengan cara-cara tidak faktual. Kita harus turun ke lapangan, melihat langsung perekonomian masyarakat,” ujarnya.

Arif menilai, ada potensi besar dari aset pemerintah yang terbengkalai, kerjasama dengan swasta yang belum optimal, serta iklim investasi yang masih rapuh akibat lemahnya jaminan ketertiban dan keamanan. “Kita harus menjamin stabilitas agar investor tidak ragu,” tambahnya.

Ia mengungkapkan, pajak hotel dan restoran bahkan masih jauh dari target. Padahal sektor jasa dan kuliner tumbuh pesat di Bekasi.

“Senin depan, kami bersama Bapenda dan Kejaksaan akan turun sidak. Kita mau lihat apa yang sebenarnya terjadi,” katanya.

Bukan hanya Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi juga terjepit. Ketua DPRD Kabupaten Bekasi, Ade Sukron Hanas, memperkirakan dana transfer dari pusat akan berkurang hingga 30 persen.

“Kalau tidak ada strategi matang, kondisi ini akan sangat berpengaruh. PAD kita turun, sementara belanja pegawai justru membengkak,” tegasnya.

Ade mengkritisi pola anggaran yang masih gemuk pada pos belanja aparatur, sementara program pembangunan dan layanan publik kerap dikorbankan. Ia mendorong agar kegiatan seremonial dipangkas, sementara potensi CSR, kemitraan dengan swasta, hingga pelibatan masyarakat harus dimaksimalkan.

“Kalau tidak, pembangunan daerah hanya jalan di tempat. Kita butuh terobosan, bukan sekadar rutinitas,” ujarnya.

Pemotongan dana transfer pusat menelanjangi kelemahan klasik pemerintah daerah: ketergantungan yang tinggi pada dana dari pusat. Kota Bekasi misalnya, pada APBD 2025 mencatat pendapatan transfer sebesar Rp3,078 triliun, di mana Rp2,368 triliun berasal dari pemerintah pusat. Ketika aliran itu dipangkas, goyahlah sendi fiskal daerah.

Ironisnya, efisiensi yang sering digaungkan kerap berhenti pada jargon. Belanja pegawai yang “cukup signifikan”, sebagaimana diakui Ade Sukron, tetap menggerus porsi anggaran. Sementara pos pembangunan sering jadi sasaran pertama penghematan. Masyarakatlah yang akhirnya merasakan dampaknya jalan berlubang tak tertambal, layanan publik tersendat, dan fasilitas umum tak terawat.

Kritik publik terhadap pola penghematan pemerintah daerah pun makin keras. Efisiensi jangan hanya sebatas memangkas acara seremonial atau rapat-rapat mewah. Lebih jauh, perlu transparansi, pengawasan ketat terhadap PAD, dan terobosan kreatif agar perekonomian lokal tak mati suri.

Pemerintah daerah di Bekasi ditantang untuk membuktikan bahwa mereka mampu berdiri di atas kaki sendiri. Menggali potensi lokal, memperkuat kerjasama dengan swasta, hingga melibatkan masyarakat dalam program pembangunan adalah jalan panjang yang harus ditempuh.

Sebab jika tidak, pemotongan dana transfer dari pusat hanyalah awal dari serangkaian krisis fiskal daerah. Dan krisis itu, seperti biasanya, akan kembali ditanggung oleh rakyat.(sur/pra)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |