Oleh: Dahlan Iskan
Mata Dr Karina berkaca-kaca. Kaget campur bahagia. “Saya akan tulis ini di jurnal,” kata dokter ahli biomedik yang mendalami stem cell –khususnya T-Cell dan NK-Cell.
Saya mampir klinik Hayandra, milik Karina, sebelum berangkat ke Shanghai Selasa lalu.
Setiap kali bercerita tentang pasiennyi itu matanyi berkaca. “Ia datang ke sini pakai kursi roda. Ia pasrah mau diapakan saja. Kankernya sudah menyebar. Sudah stadium empat,” ujar Karina –yang di status HP saya tulis namanyi sebagai Karina Keriting.
Sampai sekarang rambut Karina masih keriting. Masih 5i. Sudah empat tahun saya tidak bertemu Karina. Terakhir ketika saya menjalani PRP di klinik Hayandra tahun 2021 lalu (Disway 6 Agustus 2021).
“Anda apakan pasien kanker paru itu?” tanya saya.
“Saya tawari stem cell jenis T-cell,” kata Karina.
Pasien itu sudah tidak punya pilihan lagi. Sudah berbagai pengobatan dilakukan. Ia ikut saja apa kata Karina.
Karina sendiri tidak menjanjikan apa-apa. Dia hanya menceritakan bahwa ibunyi sendiri tahun 2016 menderita kanker usus. Usus sang ibu sudah berhasil dipotong. Tapi sang ibu tidak mau melakukan kemo. Padahal setelah usus dipotong harusnya menjalani kemo. Agar bibit-bibit kanker yang mungkin masih tersisa bisa dibasmi.
Akhirnya Karina membawa sang ibu ke Jepang. Waktu itu Karina sedang menyelesaikan S-3. Yakni program doktor biomedik di Universitas Indonesia.
Dia kalahkan sekolahnyi itu. Dia dampingi sang ibu ke Jepang.
Di Jepang sang ibu, seorang dokter ahli kulit, menjalani stemcell T-cell. “Saya bertekad, kalau ibu saya sembuh akan membawa teknologi T-cell Jepang itu ke Indonesia,” ujar Karina.
Sang ibu ternyata sembuh. Sampai sekarang masih sehat. Karina pun membawa paten T-Cell dari Jepang itu ke Indonesia. Lalu dia jalankan T-Cell di klinik Hayandra. Sampai sekarang. Termasuk ke pasien kanker paru yang sudah menjalar ke tulang itu.
Karina ditanya pasien itu: “Harus berapa kali stem cell?”
Karina agak ragu menjawab. Stem cell itu mahal. Harus dilakukan berkali-kali pula. Karina tidak tahu latar belakang ekonomi pasien itu. Tapi dia harus mengatakannya: “lima belas kali”.
Itu pun Karina tidak menjamin: apakah dengan 15 kali sudah bisa sembuh. Dalam hati dia sendiri ragu: pasien itu sudah dalam stadium empat.
“Ternyata ia mau. Berarti beliau punya uang,” kata Karina. “Belakangan saya tahu beliau seorang pengusaha,” tambahnyi.
Anda sudah tahu: sekali suntikan, cell muda-sehat yang dimasukkan tubuh umumnya berjumlah antara 70 juta sampai 150 juta cell. Tapi T-cell yang dimasukkan Karina ke tubuh pasien tersebut mencapai 1,2 miliar cell baru. Sekali suntik.
Cell baru itu diambil dari pasien sendiri. Dari darah atau lemak. Dari cell yang ada di darah / lemak itu dipilih beberapa cell jenis T-cell yang masih muda dan sehat. Lalu dibiakkan di lab milik Hayandra. Sampai menjadi di atas satu miliar cell. Waktu pembiayakannya sekitar 15 hari –lebih lama dari pembiakan stem cell biasa.
Karina memiliki teknologi pembiayakan yang sampai lebih satu miliar cell. Dia memang membeli paten itu dari Jepang. Lalu dia lakukan penyempurnaan.
Di samping ahli bedah plastik Karina juga ahli stem cell. Jurnal ilmiah di bidangnya sudah mencapai 36 karya. Itu baru yang tingkat Scopus. Belum lagi yang tingkat nasional.
Karina adalah dokter yang tetap jadi ilmuwan. Dia tidak berhenti sebagai dokter. Dia terus mendalami stem cell. Apalagi ibunyi sudah sembuh. Gelar doktornyi sudah selesai. Nilai gelar doktornyi sangat bagus.
Bahwa dia tidak cum laude itu hanya karena waktu penyelesaian doktornyi molor –demi ibundanyi yang harus berobat ke Jepang.
Bagaimana dengan pasien kanker paru yang sudah menjalar ke tulang itu? Bolehkah saya mendapat nomor kontaknya?
“Saya harus minta izin dulu ke pasien saya,” ujar Karina.
Sampai saya terbang ke Shanghai nomor kontak itu belum saya dapat. Tapi begitu saya tiba di Hangzhou Dr Karina WA saya.
“Tadi pagi pasien saya datang ke Hayandra,” ujar Karina.
“Masih pakai kursi roda?”
“Tidak lagi. Bahkan ia datang setir mobil sendiri,” ujar Karina.
“Sudah sembuh? Kok sudah bisa setir mobil?”
“Sudah sembuh. Bahkan ia bercerita baru saja dari Malang. Pakai mobil. Juga setir sendiri,” kata Karina mengutip kata-kata pasien itu. “Ia juga mengaku sudah main basket lagi,” tambah Karina.
Umur pasien itu memang masih 49 tahun. Hobinya basket. Di suntikan T-cell yang keenam ia sudah tidak lagi di kursi roda.
Apakah diijinkan dapat nomor tilponnya?
“Saya sudah minta ijin. Mula-mula ragu. Lalu bertanya apakah tidak akan mencelakakan dirinya,” ujar Karina.
Akhirnya Karina bisa mendapat ijin itu. Saya pun dikirimi nomor HP pasien itu. Juga nomor HP istrinya. Tapi saya sudah telanjur padat acara di Hangzhou. Saya akan hubungi pasien itu sekembali ke Jakarta. Sekalian bertamu ke rumahnya.
Waktu datang ke Hayandra kemarin itu Si pasien akan menjalani T-cell untuk kali ke – 11. Berarti kurang empat kali lagi. Karina menganjurkan untuk tetap menyelesaikan program 15 kali T-cell meski pasien sudah dinyatakan bersih dari kanker.
“Siapa yang menyatakan kankernya sudah bersih?”
“Hasil PET scan,” ujar Karina.
“Kebetulan dokter yang melakukan pat scan terakhir ini juga dokter yang melakukan patscan pertama yang mengatakan kankernya sudah menjalar ke tulang,” ujar Karina.
Kepada saya lantas ditunjukkan hasil PET scan pertama dan PET scan terakhir. Tidak hanya hasil scan. Juga uraian atas hasil PET scan itu.
Saya diminta membandingkannya. “Lihat hasilnya. Sudah bersih,” katanyi. Saya lihat sekilas hasil PET scan itu.
Saya tidak bisa membacanya. (Dahlan Iskan)