43 SPPG di Kota Bekasi Belum Punya Sertifikat Laik Higiene Sanitasi, Kadinkes Minta Orangtua Tak Khawatir Berlebihan

1 week ago 28

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Puluhan dapur penyedia makanan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kota Bekasi diketahui belum memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).

Dinas Kesehatan mencatat, ada 43 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang masih beroperasi tanpa jaminan standar kebersihan. Meski belum ada laporan keracunan, kondisi ini membuat resah sebagian orangtua murid, apalagi setelah kasus serupa ramai terjadi di sejumlah daerah.

Program yang digagas pemerintah pusat itu sejatinya bertujuan mulia, yakni memberikan asupan gizi seimbang agar tumbuh kembang anak semakin optimal. Namun, tanpa pengelolaan yang baik, risiko kesehatan tetap mengintai.

Orangtua murid di Kota Bekasi pun mulai mempertanyakan sejauh mana pemerintah daerah menjamin kualitas makanan yang dikonsumsi anak-anak mereka setiap hari.

Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kota Bekasi, Satia Sriwijayanti Anggaraini, mengakui masih banyak SPPG yang belum memenuhi kewajiban kepemilikan SLHS. Dari 43 SPPG, baru lima yang mengajukan permohonan sertifikat.

“Yang sudah mengajukan baru lima, yang lain belum mengajukan,” ujarnya, Selasa (30/9).

Menurut Satia, pihaknya sudah membicarakan hal ini dengan para pengelola SPPG melalui pertemuan daring. Dinkes berjanji mendampingi proses penerbitan sertifikat, termasuk menggelar pelatihan jaminan keamanan makanan.

“Jadi setiap penjamah makanan, orang yang melakukan kegiatan di SPPG termasuk ahli gizinya harus memiliki sertifikasi jaminan keamanan,” jelasnya.

Satia optimistis seluruh SPPG bisa merampungkan kewajiban ini dalam waktu kurang dari sebulan, asalkan pengelola proaktif mengajukan.

Sebagai pengawasan tambahan, Puskesmas dan Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) akan diturunkan untuk melakukan pengujian makanan secara berkala.

“Kita juga nanti menurunkan Labkesda untuk sesekali visitasi ke SPPG, untuk melakukan pengujian,” tambahnya.

Ia meyakinkan para orangtua agar tidak khawatir berlebihan. Pemerintah, kata Satia, tidak mungkin memberi makanan buruk bagi anak-anak. Dengan pengawasan yang semakin ketat, ia percaya kualitas MBG akan terus membaik.

“Niat pemerintah baik, mencerdaskan anak-anak melalui pangan yang bergizi dan seimbang. Saya yakin SPPG juga berusaha memberikan yang terbaik,” katanya.

Upaya perbaikan juga melibatkan Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bekasi. Sekretaris Disdik, Warsim Suryana, mengatakan pihaknya sudah mengaktifkan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) serta menunjuk guru penanggungjawab di sekolah penerima MBG.

“Termasuk juga untuk antisipasi, peran UKS penting untuk langkah preventif terkait hal-hal yang mengkhawatirkan,” ujarnya.

Selain itu, sekolah membentuk tim yang terdiri dari guru dan siswa untuk menerima dan membagikan makanan. Guru penanggungjawab mendapat insentif Rp100 ribu per hari sesuai SE Badan Gizi Nasional (BGN) Nomor 5 Tahun 2025. Dana insentif diambil dari biaya operasional SPPG dan dicairkan tiap 10 hari sekali.

“Dengan adanya insentif lebih termotivasi, lebih semangat lagi guru-guru yang membantu,” kata Warsim.

Dukungan dan pengawasan juga datang dari legislatif. Anggota Komisi I DPRD Kota Bekasi, Samuel Sitompul, mengingatkan agar semua SPPG patuh terhadap standar operasional yang ditetapkan BGN.

“Jangan sampai ada dapur yang tidak mengikuti SOP yang sudah ditetapkan,” ucapnya.

Samuel menegaskan, penutupan operasional harus menjadi opsi bila ada SPPG yang terbukti lalai hingga menyebabkan keracunan.

“Bilamana terjadi, ditemukan, saya berharap dapur tersebut harus ditutup demi menjaga kemaslahatan anak-anak bangsa kita,” tegasnya.

Meski pemerintah daerah bergerak memperbaiki tata kelola MBG, keraguan tetap menghantui sebagian orangtua murid. Mereka khawatir kasus keracunan di daerah lain bisa menimpa anak-anak mereka di Kota Bekasi.

AB (36), orangtua dari FY (7), siswa kelas 2 SD swasta di Kecamatan Bekasi Timur, mengaku sejak awal menolak anaknya ikut mengonsumsi MBG.

“Saya salah satu orang yang menolak MBG sebenarnya, karena ngeliat dari sosmed, tetangga cerita, segala macam itu banyak keracunan. Jadi saya orang yang menolak adanya ngasih makan MBG ke anak saya,” katanya.

Menurut AB, sekolah memang memberi pilihan kepada orangtua untuk menyetujui atau tidak. Ia memilih tegas menolak dan membekali anaknya dengan makanan dari rumah.

“Biasanya guru itu ngasih persetujuan ke orangtua, ini anaknya boleh dikasih MBG atau enggak. Saya salah satu orang yang menolak. Jadi lebih baik bawa makanan dari rumah, tetap makan bareng temennya tapi bekal dari istri saya yang siapkan,” jelasnya.

Sejak program berjalan tiga minggu lalu, FY sama sekali belum pernah mencicipi menu MBG meski setiap hari disajikan variasi makanan, mulai dari nasi, susu, ayam fillet, hingga sayuran.

“Meski persentasenya kecil, tetap saja yang jadi korban itu manusia, bukan hewan,” ucapnya.

AB juga mempertanyakan bentuk tanggung jawab sekolah maupun pemerintah bila terjadi keracunan massal.

“Kalau kenapa-napa, emangnya ada tanggung jawab dari sekolah atau pemerintah? Kan tidak ada. Jadi lebih baik antisipasi,” imbuhnya.

Ia berharap pemerintah lebih serius memperhatikan kualitas MBG agar tidak lagi menimbulkan korban.

“Nyawa orang jangan disepelekan,” pungkasnya. (sur/rez)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |